KEHIDUPAN DALAM
MASYARAKAT NIAS
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian
Di samping itu pula di Pulau Nias dikenal istilah kasta. Di pulau Nias dikenal ada sistem kasta (12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu" dan untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Adapun beberapa rincian kasta yang terdapat di Pulau Nias antara lain :
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa),
1. Si’ulu (Balugu/Salaŵa),
yaitu: golongan masyarakat yang mempunyai kedudukan tertinggi secara turun-temurun, akan tetapi pengukuhannya melalui proses pelaksanaan pesta kebesaran (Owasa/Fa’ulu). Bangsawan yang telah memenuhi kewajiban adatnya melalui proses Owasa/Fau’ulu disebut Si’ulu Si Ma’awai dan menjadi Balö Zi’ulu Yaitu bangsawan yang memerintah.
2. Ere,
yaitu: para pemimpin agama kuno. Sering juga, oleh karena kepintaran seseorang dalam hal tertentu, maka dia disebut Ere, umpamanya Ere Huhuo yaitu seseorang yang sangat pintar dalam berbicara terutama menyangkut adat-istiadat. Secara garis besar terdapat 2 (dua) macam ere, yaitu: Ere Börönadu dan Ere Mbanua.
3. Si’ila,
yaitu: kaum cerdik-pandai yang menjadi anggota badan musyawarah desa. Mereka yang selalu bermusyawarah dan bersidang (Orahu) pada setiap masalah-masalah yang dibicarakan dalam desa, dipimpin oleh Balö Zi’ulu dan Si’ulu lainnya;
4. Sato,
4. Sato,
yaitu: Masyarakat biasa (masyarakat kebanyakan) juga sering disebut Ono mbanua atau si fagölö-gölö atau niha si to’ölö.
5. Sawuyu (Harakana),
yaitu: golongan masyarakat yang terendah. Mereka berasal dari orang-orang yang melanggar hukum dan tidak mampu membayar denda yang dibebankan kepadanya berdasarkan keputusan sidang badan musyawarah desa. Kemudian mereka ditebus oleh seseorang (biasanya para bangsawan), oleh karenanya semenjak itu mereka menjadi budak (abdi) bagi penebus mereka. Mereka juga berasal dari orang-orang yang tidak mampu membayar utang-utangnya, orang-orang yang diculik atau orang-orang yang kalah dalam perang, kemudian mereka menjadi budak.
KEBUDAYAAN
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat), Afulu (Nias Utara) sampai sekarang dan tempat ini dilindungi oleh Museum Pusaka Nias. Di samping itu juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari perang dan lain-lain.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut “FONDRAKÖ” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik (batu besar) dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat), Afulu (Nias Utara) sampai sekarang dan tempat ini dilindungi oleh Museum Pusaka Nias. Di samping itu juga banyak memiliki corak kebudayaan diantaranya Omo ni Oniha (Rumah Adat), Maena (Tarian) seperti Tari Moyo (Rajawali), tari mogaele, (Baluse) tari perang dan lain-lain.
1. Hombo Batu (Lompat Batu)
Tradisi yang dilakukan oleh seorang pria yang mengenakan pakaian adat Nias dan meloncati susunan batu yang setinggi lebih dari 2 (dua) meter. Ajang tersebut diciptakan untuk menguji fisik dan mental para remaja pria Nias menjelang usia dewasa yang akan ikut berperang melawan penjajah karena pertahanan musuh sangat kuat jadi untuk memasuki area musuh tidak selalu mudah apalagi untuk mengalahkannya sebab di beberapa wilayah, musuh memiliki kubu pertahanan yang sangat kuat di antara beberapa titik yaitu bambu runcing yang merupakan benteng pertahanan, sehingga dengan ketangkasan para leluhur melalui latihan lompat batu dengan penuh semangat dan percaya diri sehingga kubu pertahanan musuh dapat di lalui dengan lompatan yang sangat tinggi, dan akhirnya benteng pertahanan musuh menjadi rubuh dan setelah itu musuh di kalahkan. Setiap lelaki dewasa yang ikut perang wajib lulus ritual lompat batu.
Batu yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian atas datar. Tingginya tidak kurang dari 2 (dua) meter dengan lebar 90 centimeter (cm) dan panjang tolakan dari permukaan tanah 60 cm. Para pelompat tidak hanya sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki teknik seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat menyebabkan cedera otot atau patah tulang. Selain sebagai penguji fisik dan mental bagi pemuda yang berhak mengikuti perang, Tradisi Fahombo ini juga dinilai sebagai syarat bagi mereka yang siap menikah, karena bagi mereka yang tidak berhasil melompati batu tersebut dianggap belum pantas untuk meminang seorang gadis. Begitu terkenalnya tradisi lompat batu ini membuat tradisi ini pernah diabadikan pada pecahan uang seribu rupiah pada awal tahun 1990-an dengan gambar seorang pria Nias yang sedang melompati tugu batu.
2. Maena (Tari)
Maena adalah sebuah tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari moyo, tari baluse/tari perang (masih dari Nias), maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event dimana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (bahasa asli Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena dikota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan
Goyangan (fataelusa) maenanya. Maena biasanya dilakukan dalam acara perkawinan (fangowalu), pesta (falõwa/owasa/folau õri),
3. Omo Hada (Rumah Adat)
Dulu omo hada (rumah adat) oleh masyarakat Nias digunakan sebagai lambang kekayaan pemiliknya. Selain sebagai tempat tinggal, di dalam rumah ini bangsawan pemiliknya berhak melakukan pertemuan dan acara adat. Acara adat dimaksud dapat berupa upacara pengukuhan raja (owasa famaho bawi soya), upacara menguji kekuatan rumah raja (famoro omo), dan pesta pembuatan rumah baru (famaluaya tuha nomoa). Dengan demikian, omo hada merupakan titik sentral setiap kegiatan yang melibatkan adat istiadat. Peralihan zaman membuat fungsi omo hada berubah menjadi rumah pertemuan biasa, dan sebagai gantinya balai desa menjadi titik pertemuan. Selain sebagai rumah tinggal, omo hada juga berfungsi sebagai tempat pertemuan informal. Nilai sejarah omo hada ini pernah diteliti ahli dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO), yakni Prof Alain M Viaro. Hasilnya, omo hada dinyatakan sebagai rumah dengan arsitektur paling lengkap. World Monument Fund kemudian mencatat dan memasukkan situs omo hada sebagai salah satu dari 100 situs dunia yang berada dalam keadaan bahaya dan perlu segera diselamatkan, bersama Borobudur, Taman sari di Yokyakarta, dan Tanah Lot di Bali. Pernyataan ini muncul karena rumah tersebut dibangun tanpa paku, hanya berupa tiang penyangga. Selain itu, karena memegang nilai sejarah silsilah nenek moyang suku Nias Selatan, maka rumah ini menjadi penting artinya, Beberapa keunikan omo hada antara lain tiang penyangga rumah setinggi empat meter terbuat dari kayu bulat yang cukup keras. Tiang penyangga (ehomo) yang cukup tinggi ini adalah berdasarkan pengalaman sejarah suku Nias. Rumah yang terletak di bukit, pelindung terbaik adalah memakai tiang tinggi. Selain itu, ada tiang penyangga (diwa) menyilang sebagai penyangga rumah dari serangan angin yang kuat di dataran tingi. Tiang-tiang ini tidak ditancapkan ke tanah, tetapi ditumpukkan di atas batu keras. Pintu masuk rumah yang letaknya persis di tengah (di bawah kolong rumah) merupakan pelindung terbaik jika ada musuh datang dan merupakan keunikan tersendiri.
KEHIDUPAN SOSIAL
Pemberian salam kepada sesama sangat tinggi nilainya terhadap satu dengan yang lain. Bila seseorang tidak bersapaan atau memberi salam kepada yang lain, maka diantara kedua belah pihak sudah terjadi disintegrasi sosial yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh kebanyakan orang. Jika sifat di atas tidak ada maka relasi mereka menjadi lebih akrab sehingga setiap bertemu selalu menyapa dengan ucapan “Ya’ahowu” (salam khas Nias) yang dilanjutkan dengan kata “Yae nafoda” atau bologö dödöu, lö afoda” (ini sirih kita atau maaf kita tidak punya sirih). Dalam situasi tersebut kedua belah pihak saling memakan sirih. Setelah itu baru diakhiri dengan salam kembali dan kata “ya’ami ba lala” (selamat jalan) sebagai kata perpisahan. Beberapa kebiasaan yang mendasar:
Persiapan orang yang hendak bertamu Wanita yang sudah dinamai “Si no lafatö turu” atau “sino lafotu” (sudah berkeluarga dengan tahap-tahap adat) pergi bertamu baik kepada orang yang sudah dikenal maupun kepada orang yang belum dikenal selalu mempersiapkan diri dari rumah berupa penghormatan. Sebelum berangkat dari rumah bila seorang bapak yang pergi dia mengatakan kepada istrinya “biz(d)i nafogu ua” (persiapkan sirih saya dulu), saya mau pergi kepada Ama Warisan. Lalu ibu mempersiapkan sirih dan memberikanna di “Naha nafo” (Kempit sirih). Setelah siap dipersiapkan baru bapak mengambil dan disimpannya dalam kantongnya. Dalam perjalanan, setiap orang yang bertemu kepadanya selalu memberi salam “Ya’ahowu” dan mengambil sirih yang telah dipersiapkan dari rumah dan diberikan kepada orang yang bertemu dengan dia mengatakan “Yae nafoda ” (ini sirih kita). Setelah selesai baru melanjutkan perjalanan di mana tujuan pertamanya. Bila seorang ibu rumah tangga yang hendak bertamu baik pergi kepada “Sitenga bö’ö” (kerabat) maupun kepada orang lain, terlebih dahulu mempersiapkan sirih yang ditempatkan di “Naha Nafo” (kempit sirih), dan setiap orang yang hendak bertemu selalu memberi salam “Ya’ahowu” terus bersalaman dan baru menyungguhkan sirih satu dengan yang lain.
Kebiasaan bila tamu datang di rumah Bila seseorang datang di rumah untuk bertamu selalu dimulai dengan kata salam “Ya’ahowu” dan dilanjutkan sikap bersalaman. Kemudian disambung dengan kata “ Yae nafoda” (ini sirih kita) atau bologö dödöu Lö’afoda (ma’af tidak ada sirih kita). Baru ibu rumah tangga menyuguhkan sirih kepada para tamu. Pada saat saling mungunyah sirih yang disuguhkan timbal balik, ibu rumah tangga berkata: “Hadia göda Ga’a atau Baya?” (apa makanan kita?) dan sebagainya, “Hana wamikaoniga?” (Kenapa kalian mengundang kami?). Tamu yang datang menjawab: “Lö hadöi, möiga manörö-nörö manö” (tidak ada, hanya sekedar jalan-jalan saja)”. Dari kata seorang ibu di atas, itu bukan berarti menghendaki supaya ada makanan dengan bertanya “apa makanan kita.” Tetapi sapaan untuk menindak lanjuti kata seterusnya supaya ada keakraban dan nampak lebih dekat. Begitu sebaliknya dengan jawaban dari tamu yang mengatakan “hanya jalan-jalan saja’ atau “meminta makanan kami”. Itu semua kedua belah pihak hubungan mereka lebih kekeluargaan. Hal ini juga tidak dikatakan kepada orang yang tidak dikenal sama sekali. Kedua hal ini baik sebagai tamu atau tuan rumah mempunyai tujuan yang berbeda dari ungkapan yang pertama tadi. Setelah beberapa saat baru tamu memberitahukan apa tujuan yang sebenarnya dan tuan rumah baru berbicara yang sebenarnya sesuai dengan tujuan yang dikehendaki oleh tamu. Setelah selesai pembicaraan baru dilanjutkan dengan kata “mofanöga” (permisi, kami pergi). Tuan rumah tidak terus mengizinkan pergi tetapi harus “Lasaisi” artinya kita tahan mereka untuk menunggu makan. Dengan kata “Tabase’ö öda idanö ua” (mari kita minum dulu) atau tabase’ö öda wakhe safusi ua hana wa aösö-aösö sibaikö” (mari kita tunggu makanan kita nasi putih dulu, kenapa tergesa-gesa sekali) “Ha walö diwo-diwoda” (hanya saja, tidak ada lauk pauk kita). Kata-kata di atas sikap tamu bisa menunggu bisa juga tidak. Karena hanya merupakan basa basi. Dilanjutkan dengan kata maaf tidak ada lauk pauk kita. Itu hanya menunjukkan kerendahan hati walaupun kenyataannya lauk-pauk mereka anak babi yang tambun, ayam “Niowuru” (daging babi yang sudah di garami).
Kebiasaan waktu makan Pada hari biasa mereka makan tiga kali sehari. Pagi hari mereka makan “Sinanö” (umbi-umbian) siang hari mereka makan “umbi-umbian” dan nasi sebagai “Fangazökhi dödö” (makanan yang menyenangkan). Pada malam harinya mereka makan seperti makan siang. Sehingga setiap hari mereka rutin makan nasi dua kali sehari. Pada hari minggu mereka makan dua kali sehari makan sebelum pergi ke gereja dan pada malam harinya. Pada saat makan sedang berlangsung tidak boleh ngomong-ngomong karena marah “Sobawi” (yang selalu menegur anggota keluarga bila melalaikan ketertiban di rumah) Makanan nasi ini lebih tinggi nilainya dari pada makanan yang lain. Bila makan tidak boleh tersisa dan dibuang begitu saja. Kemudian kalau dimasak harus pakai ukuran apakah Tumba (jumba), Hinaoya (liter), kata (tekong) dan lain-lain serta tidak boleh “Lafasösö” (dipadatkan) dalam periuk, tidak boleh dipukul-pukul pinggir periuk dengan sendok. Semua pantangan ini apabila tidak ditaati maka bisa berakibat marah “Sibaya Wache” (pemilik dari pada nasi tersebut) seandainya marah akibatnya bila menanam padi tidak subur dan tidak menghasilkan banyak buah serta banyak mendatangkan berbagai wabah penyakit dan bila dimasak “Lö mo’ösi” (artinya walaupun satu jumba dimasak tetapi hasila masakan nampak seperti sati liter).
Kebiasaan suami-istri bila pergi bersama Orang Nias pada masa dulu bila pasangan suami-istri itu pergi bersama mempunyai norma adat tertentu yang mana bila pergi bersama kemana saja baik ke ladang, ke sawah, pergi kepada paman atau pergi pada pesta-pesta selalu laki-laki di belakang dan perempuan di depan. Hal ini menunjukkan bahwa wanita itu adalah istrinya, yang wajar mendapat perlindungan dari berbagai gangguan, yang dicintai, yang dikasihani, serta menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai suami. Bila seseorang anak muda jalan bersama dengan saudaranya perempuan atau perempuan yang lain tetapi mereka berjalan bersama laki-laki ke belakang dan perempuan ke depan itu adalah merupakan ejekan kepada orang yang melihat. Mereka mengatakan apakah mereka itu suami-istri? Atau kenapa orang itu pergi seperti suami istri? Ini juga suatu tanda kepada publik bahwa dari letak jalan seseorang mereka bisa mengetahui bahwa itu adalah suami-istri.
Penghormatan dengan kata “Ya’ahowu” dan “pemberian sirih” dalam porsi adat.
Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam acara “Fanika Era-era mböwö” (suatu acara yang menguraikan tentang silsilah keturunan dari pada pihak penganten perempuan yang diberitahukan secara formal kepada pihak penganten laki-laki mulai dari famili terdekat sampai kepada yang terjauh serta beban-beban yang harus ditanggung dalam hidupnya sesuai dengan hubungan kekerabatan). “Hönö mböwö no awai, Hönö mböwö no tosai” (ribuan jujuran sudah selesai, ribuan jujuran masih tersisa), artinya tanggung jawab terhadap mertua dan sanak famili dalam bentuk beban-beban tidak pernah putus sampai seumur hidup. Karena itu kemampuan penghormatan dengan harta benda sangat terbatas dalam bentuk “Böwö”, maka diberi kelonggaran untuk mengatasi hal tersebut, yaitu jangankan penghormatan dengan harta materi tetapi penghormatan dengan kata-kata sapaan “Ya’ahowu” dan “Fame’e afo” (pemberian sirih) kepada “Sitenga bö,ö” dan lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara nilainya dengan empat alisi babi, dan dianggap sudah lunas utangnya yang telah dituturkan dalam acara “Fanika era-era mböwö”. Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi, penghormatan berupa harta materi maupun penghormatan dengan kata-kata sudah hampir tidak ada lagi. Kita tidak tau bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang lebih dari “böwö” atau makanan. Inilah yang dikatakan “Ho maigö ami li moroi ba gö” artinya dengan penghormatan kata-kata itu sudah cukup senang dan berharga.
Menurut porsi adat perkawinan yang telah dituturkan dalam acara “Fanika Era-era mböwö” (suatu acara yang menguraikan tentang silsilah keturunan dari pada pihak penganten perempuan yang diberitahukan secara formal kepada pihak penganten laki-laki mulai dari famili terdekat sampai kepada yang terjauh serta beban-beban yang harus ditanggung dalam hidupnya sesuai dengan hubungan kekerabatan). “Hönö mböwö no awai, Hönö mböwö no tosai” (ribuan jujuran sudah selesai, ribuan jujuran masih tersisa), artinya tanggung jawab terhadap mertua dan sanak famili dalam bentuk beban-beban tidak pernah putus sampai seumur hidup. Karena itu kemampuan penghormatan dengan harta benda sangat terbatas dalam bentuk “Böwö”, maka diberi kelonggaran untuk mengatasi hal tersebut, yaitu jangankan penghormatan dengan harta materi tetapi penghormatan dengan kata-kata sapaan “Ya’ahowu” dan “Fame’e afo” (pemberian sirih) kepada “Sitenga bö,ö” dan lain-lain, maka itu sudah cukup yang setara nilainya dengan empat alisi babi, dan dianggap sudah lunas utangnya yang telah dituturkan dalam acara “Fanika era-era mböwö”. Dewasa ini kebiasaan tersebut sudah tidak ada lagi, penghormatan berupa harta materi maupun penghormatan dengan kata-kata sudah hampir tidak ada lagi. Kita tidak tau bahwa dari kata-kata kita itu sudah ada nilainya yang lebih dari “böwö” atau makanan. Inilah yang dikatakan “Ho maigö ami li moroi ba gö” artinya dengan penghormatan kata-kata itu sudah cukup senang dan berharga.
Budaya atau adat istiadat yang pada saat ini masih berlaku dalam kalangan Ono Niha (orang Nias). Dan seperti yang saya ambil tentang, Susunan atau bisa dinamakan itu Kasta dalam orang Nias memang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Namun ini merupakan suatu acuan atau pedoman bagi orang Nias terutama dalam posisi dalam bermasyarakat, sehingga tahu mereka dimana posisi mereka apakah seperti; Ere, yaitu sebagai pemimpin, Si’ila yaitu kaum yang pandai menjadi anggota badan musyawarah desa, Sato sebagai ono mbanua atau masyarakat umum, Sawuyu sebagai Harakana yaitu golongan masyarakat yang terendah. Sehingga masyarakat Nias berpedoman dalam hal ini. Dan juga dalam kehidupan sosial seperti persiapan kalau ada orang yang mau bertamu dalam lingkungan setempat kita harus memberi salam kepada yang lain, sehingga diantara kedua belah pihak sudah terjadi disintegrasi social yang mungkin disebabkan oleh sifat, gaya, cara jalan, tutur bahasa, cara berpakaian atau penataan rambutnya yang kurang diterima oleh kebanyakan orang. Dan sampai sekarang ini dalam masyarakat Nias masih diterapkan hal ini dan tidak bisa dihilangkan.
TUHAN YESUS MEMBERKATI, AMIN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar