BAB IV
FILSAFAT DAN IMAN DI ABAD 20
I. Positivisme Logis dan Analisis Bahasa
Positivisme logis adalah suatu gerakan anti-metafisika di dalam filsafat. Ia mempunyai dua akar secara geografis yaitu Inggris dan Viena. Akar dari Inggris adalah sekeptisisme empiris dari David Hume di abad ke 18. diperkirakan perkembangan di Viena lebih kemudian. Gerakan di Viena kemudian.
Prinsip Verifikasi adalah senjata utama kaum positivis logis. Mereka memakai prinsip ini untuk membedakan antara pernyataan asli dari yang palsu. Dalam pencarian pendekatan ilmiah kepada ilmu pengetahuan, positivis logis percaya bahwa mereka telah menemukan sebuah alat penyaring pernyataan-pernyataan yang kelihatannya seolah-olah benar padalah faktanya tidak, di dalam Prinsip Verifikasi. Cara untuk membedakannya yaitu dengan bertanya bagaimana pernyataan biasa dapat diverifikasi. Arti dan natur sebenarnya sebuah pernyataan disingkapkan oleh metode verifikasinya, kalau tidak, maka ia kehilangan artinya. Positivisme Logis menegaskan bahwa pernyataan itu berarti dan asli jika dapat diverifikasi sebagaimana hipotesis ilimiah diuji oleh pengujian umum.
Ayer menggambarkan cara kerja prinsip verifikasi itu. Ia menjelaskan adanya perbedaan yang harus diambil antara “kemampuan verifikasi secara prinsip”. Adapula kategori pernyataan yang lain dan agak berbeda yang diakui memiliki arti, yaitu tautology atau pernyataan-pernyataa analisis.
Jadi untuk mengatakan bahwa sebuah permukaan tidak dapat berwarna merah seluruhnya dan biru seluruhnya pada saat yang sama hanyalah menyatakan suatu kebenaran logis. Inilah Tautologi. Harus ditekankan, bahwa hal ini bukan merupakan pengujian kebenaran pernyataan-pernyataan. Karena bagaimanapun jug aitu adalah tugas disiplin akademis yang sesuai. Namun lebih cenderung untuk menguji apakah pernyataan-pernyataan itu memiliki arti atau tidak.
Mereka menegaskan untuk membicarakan segala sesuatu yang melampaui dan mengatasi dunia fisik diatur oleh Prinsip Verifikasi. Tak dapat disangkal, membicarakan keberadaan Allah, melihat wajahNya, seperti suatu pernyataan yang sesungguhnya. Tetapi Allah tidak dapat dilihat, diraba atau dicium. Allah bukanlah suatu istilah penjelasan ilmiah. Seseorang tidak dapat melakukan percobaan ilmiah pada Allah. Orang menyadari bahwa jelas pernyataan tentang peri adalah suatu tautology yang hanya benar di dalam konteks khayalan, padahal mereka gagal menyadari bahwa pernyataan tentang Allah juga tidak mempunyai dasar yang nyata. Keseluruhan teologi dan filsafah metafisika termasuk kesalahan terbesar yang telah timbul melalui penyalahgunaan bahasa.
Positivis Logika ini menegaskan bahwa karena bahasa tentang Allah, manusia dan tidakrusakkan tidak dapat diuji, maka hal itu tidak bermakna, atau artinya berbeda dari yang dimaksud pembicara.
Jadi, mengatakan “Allah adalah kasih” tidak sungguh-sungguh menyatakan sesuatu tentang pribadi yang transenden. Makna hakiki dari kata-kata ini adalah untuk mengumumkan “maksud untuk mengikuti jalan hidup yang bersifat kasih” dari pembicara.
Reaksi
Dan ketika belakangan muncul klaim dari Ayer bahwa tugas filsafat bukanlah untuk mencari prinsip-prinsip tertinggi, tetapi menganalisis fungsi dan status bahasa, klaim tersebut dengan cepat diterima tanpa sanggahan apapun. Hal ini disebabkan karena disadarinya bahwa pada masa lalu problema-problema muncul karena pemakaian bahasa secara salah, dan penyelesaiannya merupakan fungsi penting filsafat.
Salah seorang filsuf Oxford paska perang yang paling terkenal (sekalipun ia tidak sepenuhnya menyetujui Wittgenstein dan Ayer) adalah almarhum J.L. Austin, yang mengabdikan dirinya untuk melakukan analisis bahasa. Ia mengungkapkan bahwa tugas filsafat merupakan penggabungan catalog dari semua kemungkinan fungsi kata-kata. Ia menghabiskan waktu untuk melakukan analisis terus-menerus terhadap bagaimana menggunakan kata-kata.
Bahasa Agama
Seorang sarjana yang telah membahas secara baik penggunaan dan makna bahasa agama adalah Ian T. Ramsey. Ia mengusulkan bahwa salah satu fungsi bahasa adalah model suatu pekerjaan. Suatu model adalah representasi dari sesuatu yang lain, yang memungkinkan kita mencapai sesuatu yang diwakilinya itu. Dalam konteks bahasa agama, suatu model adalah “situasi yang kita kenal baik, yang dapat dipakai untuk mencapai situasi lain yang kita kurang kenal; di mana, jika kita tidak ada model tersebut, seseorang akan sulit mengenali situasi tersebut.” Bebarapa model tersebut sering diikuti oleh apa yang disebut oleh Bishop Ramsey sebagai pembatas. Pembatas adalah “suatu pengarah yang melukiskan cara-cara khusus untuk mengembangkan situasi-situasi ‘model’ tersebut.”
Maka ketika kita mengatakan bahwa Allah adalah “bijaksana yang terbatas”, maka kata “bijaksana” menunjuk suatu situasi model. Pembatas “yang tak terbatas” menunjukkan bagaimaan model tersebut dimengerti. Pada dasarnya, simbol memiliki dua aspek. Ada simbol material, yaitu kata, gambar, bayangan atau tanda, dan apa yang ditunjukkan oleh hal itu.
Melalui simbol, pikiran mencapai suatu elemen realitas, yang tanpanya tidak dapat dikerjakan. Dengan mengatakan demikian, penting untuk memperhatikan kedua butir berikutnya. Yang pertama berurusan dengan bahan diskusi tologis dan satunya berurusan dengan siapa yang memakainya. Dari apa yang telah dibicaraka, sejauh ini haruslah dicamkan bahwa bahasa agama tidak pernah benar secara literal.
Timbul keberatan untuk pandangan ini, yaitu bahwa kita tidak pernah dapat keluar dari permasalahan analogis dan memperbandingkan pernyataan simbolik kita dengan realitas yang mereka klaim sebagai realitas yang diwakili oleh simbol tersebut.
Tetapi keberatan ini tidak terlalu menjatuhkan dibanding dengan apa yang tampak pertama kali. Karena adalah satu hal untuk mengatakan bahwa kita tidak pernah melihat pemahaman dasar analogi itu pada diri sendiri. Dan adalah hal yang lain lagi untuk mengatakan bahwa kita tidak pernah melihatnya sama sekali. Yang pertama benar, selama mempertimbangkan kehidupan, tetapi yang kedua sama sekali salah.
Kesalahan di sini bukan terletak pada pernyataan teologisnya, tetapi pada pribadi pembicara itu. Kesalahan bukan terletak pada tidak cukupnya pernyataan, tetapi karena kurangnya pengalaman para kritikus.
Tidak mungkin di dalam lingkup studi ini untuk mengejar pertanyaan ini lebih jauh lagi. Tlnggal di katakan bahwa perbedaan pendekatan terhadap bahasa agama seperti yang dikatakan di sini, tidak selalu merupakan alternatif timbal balik yang eksklusif. Juga mereka tidak terlalu perlu merendahkan otoritas Alkitab. Tetapi, mereka menolong kita dengan cara yang berbeda untuk menuju pengertian yang lebih dalam terhadap kekayaan dan kompleksnya fenomena bahasa dan tentunya juga natur pengalaman kita dengan Allah. Namun hal ini merupakan suatu angin buruk yang pasti akan menimbulkan penyakit. Dan seperti bidat dan perlawanan lainya terhadap lman Kristen, Positivisme logis dan filsafat modern akan berhenti menjadi sarana yang membawa orang Kristen menuju pengenalan yang lebih dalam terhadap jalan Allah.
II. EKSISTENSIALISME
Latar belakang dan karakteristiknya
Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, filsafat Inggris telah didominasi oleh Positivisme Logis dan pendampingnya, Analisis Bahasa. Tetapi mungkin tidak jauh menyimpang, jika dikatakan bahwa Eksistensialisme adalah salah satu –isme yang tidak dapat terlalu dikatakan sebagai gerakan, tetapi kuran lebih hanya merupakan program umum dari suatu kecenderungan atau sikap. Ada Eksistensialis yang ateis, dan ada Eksistensialis yang mengaku sebagai orang Kristen. Ada Eksistensialis yang menyangkal kemungkinan menggarap system filsafat dan ada juga yagn melakukan sebeliknya. Eksistensialisme muncul di Jerman setelah Perang Dunia I; dan berkembang di Perancis segera setelah Perang Dunia II.
Eksistensialisme didefinisikan sebagai usaha mengfilsafatkan sesuatu, lebih dari sudut pelakunya, dibandingkan cara tradisional, yaitu dari sudut penelitinya. Eksistensialisme yang akan kita lihat di bawah ini, menemukan jalan di dalam tulisan beberapa teologi tertentu. Tetapi ia juga menghasilkan pengikut Ateis Eksistensialis yang sangat terkenal adalah novelis, dramawan dan filsuf Perancis, Jean Paul Sartre (lahir 1905).
Peran positif – tulisan Sartre adalah di dalam menggambarkan dan menganalisis reaksi manusia. Eksistensialisme merupakan bagian sebagian dari gerakan penolakan tehadap masyarakat modern.
Bultmann
Bultmann dilahirkan tahun 1884, ia belajar dan mengajar di beberapa universitas Jerman sebelum menajdi Profesor Perjanjian Baru di Marburg tahun 1921, tempat yang ia tekuni sampai pensiun tahuan 1951. Dalam perjalanan kariernya Bultmann telah menulis banyak karya. Dari situ dimungkinkan untuk mendeteksi fase-fase tertentu sudut pandangnya. Tetapi bagi Bultmann, fase ini bukan merupakan satu tingkatan untuk mengakhiri tingkat sebelumnya, tetapi lebih merupakan pengembangan yagn bersifat kumulatif.
Pengajaran Bultmann merupakan kombinasi Skeptisisme radikan dengan Eksistensialisme yang ketat. Posisi yang dikemukakan di sini digarap lebih rinci di dalam seri karya yang lebih besar. Tetapi pada hakekatnya sama. Kita tidak dapat mengetahui seperti apa Yesus itu sesungguhnya; kita hanya tahu bahwa ia hidup dan mati. Tetapi itu bukan hal yang bermakna apapun. “Kebangkitan itu sendiri bukanlah suatu peristiwa di masa lampau.... tetapi permasalahan sejarahnya sangat relevan dengan kepercayaan Kristen tentang kebangkitan.
Penanganan Bultmann terhadap mitos senantiasa terbuka terhadap pertanyaan. Ia meletakkan modal yang besar dnegan klaim bahwa pandangan Perjanjian Baru terhadap Kristus diambil dari mitologi Gnsotik. Tetapi semua bukti dari mitos penebus Gnostik berasal dari sumber paska-Kristen. Pada faktanya, semua ini lebih menunjuk kepada kemungkinan orang Gnostik mengambil ajaran mereka dari kekristenan.
Tillich
Pemikir lain yang namanya dikaitkan dengan Eksistensialisme (sekalipun dengan cara yang sangat berbeda) adalah Paul Tillich. Ia salah seorang yang sepertinya memiliki aura intelektual di dalam dirinya. Tillich lahir tahun 1886 dan meninggal tahun 1965.
Namun sekarang, penting menggarisbawahi fakta bahwa bagi Tillich, teologi tidak pernah sekedar merupakan penggalian teks Alkitab. Injil harus ditelanjangi dari sifat non-esensialnya dan terbuka bagi istilah-istilah yang mempunyai maknda bagi manusia modern. Maka Tillich menganggap lebih penting membicarakan istilah ada daripada firman dan tindakan Allah yang melampaui dan di atas dunia, tetapi yang menerobos masuk ke dalam dunia. Ia menegaskan bahwa obyek teologi adalah “apa yang paling kita pedulikan.” Untuk lebih menjelaskan, ia menambahkan: “Kepedulian ultimat kita (ultimate concern) adalah hal yang menentukan adanya (bein) atau non-adanya (non being) kita. Hanya pernyataan bersifat teologis demikian yang berurusan dengan obyek mereka sejauh ia dapat menjadi suatu ada atau non ada bagi kita.
Sebagai seorang ateis, Tillich menekankan bahwa memastikan keberadaan Allah sama dengan menyangkalnya, karena ada itu sendiri (being self) melampaui keberadaan.
III. RADIKALISME BARU
Kebangunan Radikalisme
Sekitar tahun 1960 telah terlihat sebagian kebangunan Radikalisme di Inggris dan Amerika Utara. Istilah sebagian perlu dipergunakan secara hati-hati. Hal ini karena tidak jelasnya bagaimana gerakan ini akan berkembang, atau bahkan tidak jelas gerakan ini dapat dikatakan sebagai gerakan koheren. Yang terjadi adalah terbitnya buku yang menuntut pernyataan ulang kekristenan dalam pengertian bahwa para penulis merasa akan memenuhi permintaan pikiran sekuler.
Seperti kebanyakan bentuk Radikalisme. Radikalisme Agama Baru merupakan suatu gerakan protes. Sekalipun secara pribadi-pribadi mereka memberikan usulan masa depan, tidak ada program positif yang dapat diterima baik untuk teologi, penginjilan maupun untuk melangsungkan gereja. Sebaliknya, ia beruasaha untuk mencatat sederetan protes terhadap orang lain. Lebih jauh lagi, gerakan ini merupakan gerakan prasitis.
Bonhoeffer
Dua gagasan Bonhoeffer yang palng menonjol adalah bahwa dunia ini sudah dewasa dan kekristenan telah kehilangan sifat keagamaannya. Bagi Bonhoeffer hidup Kristen bukan berarti menarik diri dari dunia, tetapi keterlibatan total ke dalam dunia.
Paham ini menggemakan kembali tema Bonhoeffer sebelum perang bahwa tidak ada anugerah murah (cheap grace) bagi orang Kristen. Sekalipun bebas, anugerah tidak bebas dari segala tuntutan. Justur sebaliknya. “Anugerah yang murah berarti pembenaran akan dosa tanpa pemberontakan orang berdosa.” Tetapi anugerah yang mahal adalah “mahal karena ia menuntut kita untuk mengikutinya dan itulah anugerah karena menuntut kita untuk mengikut Yesus Kristus.
Apakah Bonhoeffer seorang radikal? Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan waktu dan ruang lebih banyak dari apa yang kita punya. Tetapi secara keseluruhannya, saya cenderung berpikir bahwa Radikalisme Bonhoeffer terlalu dilebih-lebihkan.Sepanjang dekade yang lewat, Bonhoeffer telah menjadi rasul Radiklisme dan teolog modis. Kita tidak jelas apakah ia menyukai penilaian ini.
Honest to God (Jujur kepada Allah)
Di dalam Honest to God aplikasi lebih jauh terhadap tiga aspek iman Kristen; pribadi Kristus, ibadah dan etika. Dalam pendekatan terhadap pribadi Kristus, Dr. Robinson mengambil taktik yang sama, yaitu melunakkan dasar melalui pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mengolok, karikaturik atau retorik. Ia memberikan peringatan awal untuk menjaga dirinya sendiri dnegan menekankan bahwa pandangan ortodoks manusia “pada dasarnya isitilah itu sendiri sudah tidak dapat diterima – kecuali cara yang tepat untuk membicarakannya, yaitu bukan merupakan kesimpulan, tetapi merupakan pernyataan permsalahan itu sendiri.
Sebenarnya, dari sudut pandang Kristen, kedua hal itu dapat didefinisikan sebagai : memenuhi yang tak bersyarat dengan syarat, di dalam relasi pribasdi yang tak bersyarat. Doa bukanlah menarik diri dari dunia ini untuk memberikan diri dan perhatian seseorang kepada Yang Satu yang melampaui hal itu. Doa syafaat “ dapat sekedar mendengarkan, ketika kita menerima keberadaan dari orang lain secarasangat serius.” Demikian juga etika (yang diulas di bawah topik “Moralitas Baru”) tidak didasarkan kepada hukum dan prinsip yang “ditarik ‘ dalam keadaan bekas’ dari Allah.” Bahkan kita tidak berpikir tentang mereka sebagai sesuatu yang diberikan secara “obyektif dan permanen” dan “ditulis kepada alam semesta.” Tidak ada perintah – kecuali kasih”. “Kejahatan intrinsik satu-satunya adalah kehilangan kasih.”
Aliran Kematian Allah (Death of God)
Di Amerika Serikat gerakan ini telah menusuk dengan kredo: “Allah telah mati dan Yesus adalah AnakNya.” Kenyataannya, judul yang tertera di atas mewakili berbagai pandangan yang luas dan berkaitan dnegan berbagai jalur luas, yang telah mereka kuasai.
Semua ini kelihatan sulit dipercaya, sepertinya setelah mengumumkan sekeras-keranya upacaya penguburan bagi Allah, Altizer berusaha untuk menyusupkan Allah kembali di bawah gagasan Firman, bagaimanapun usaha tersebut sedemikian tidak bersifat Kristen, tidak koheren, dan tidak ada dasarnya. Tetapi kematian Allah tidak terjadi (seperti pada Nietschel) ketika manusia berhenti percaya kepada Allah. “Orang-orang Kristen radikal mengetahui bahwa Allah telah sungguh-sungguh mati di dalam Yesus dan kematiannya telah membebaskan kemanusiaan dari penindasan yang disebabkan adanya Keberadaan Primodal ini.” Tetapi pernyataan ini segera terhenti oleh klaim bahwa “Yesus adalah nama kasih Allah, suatu kasih yang mati secara kekal bagi manusia.sesungguhnya memberitakan nama-Nya dan bagi Kristen Radikal nama Yesus dan Allah sebgai yang tertinggi – adalah berpartisipasi di dalam kematian Allah di dalam Yesus dan melaluinya mengetahui Allah yang adalah Yesus sebagai suatu kelanjutan atau proses pergerakan maju yang sedang menjadi ‘Satu Manusia’
I. SPEKTRUM YANG LEBIH LUAS
Filsafat Inggris Sekuler
Wittgenstein. di dalam beberapa hal, gerakan ini ditunjukkan oleh gambaran kesendirian Wittgenstein di Cambridge, yang tidak henti-hentinya menganalisis struktur pikira, dengan selalu mempertanyakannya.
Moore. Morre mengklaim bahwa ada tiga topik utama di dalam filsafat. Tujuan yang pertama dan utama dari filsafat adalah menyediakan suatu daftar metafisika alam semesta ini, yaitu “deskripsi umum tentang keseluruhan alam semesta ini, dengan menyebutkan semua hal-hal yang paling penting, yang kita ketahui berada di dalamnya, dengan mempertimbangkan seberapa jauh kemiripannya dengan apa-apa yang penting yang kita tidak sungguh-sungguh ketahui berada di dalamnya.” Merupakan pengetahuan tingkat kedua. Inilah cara menggolongkan metode mengetahui sesuatu. Topik yang ketiga adalah etika.
Tidak seperti Moore, Russell mulai dengan simpati yang kecil sekali di dalam membela pengertianumum (common sensel). Suatu kali ia menyatakan “pusat filsafat adalah memulai dengan sesuatu yang sangat sederhana yang sepertinya tidak layak menjadi suatu permulaan, dan mengakhirinya dengan sesuatu yang sedemikian paradox sampai tidak seorangpun dapat mempercayainya.
Lord Russell tidak pernah sungguh-sungguh peduli secara eksklusif terhadap teka-teki filsafat. Dan pada tahun-tahun terakhir hidupnya, tenaganya didedikasikan bagi pertanyaan-pertanyaan kaum Humanitarian.
Humanisme
Tn. Martin menyimpulkan: “iman para humanis adalah bahwa akal dapat memainkan peranan yang menentukan dan bahwa doktrin-doktrin agama sebagian besar bersifat merusak. Masa depan tergantung pada diri kita sendiri, bukan pada doktrin manapun. Kita percaya bahwa manusia berkembang maju, bukan menuju Utopia atau kesempurnaan, tetapi kepada masyarakat yang lebih bahagia dan lebih masuk akal.
Tiga Pemikir Bebas
Otto
Pada satu aspek, Otto berdiri di dalam arus utama filsafat teologi Jerman sejak Kant. Seperti semua wakil-wakil terkemuk, ia berusaha untuk menyelidiki agama dan menyarikannya untuk menemukan hakekat yang memungkinkan manusia modern membedakan apayang harus (vital) dan penting dari hal-hal sekunder dan tambahan. Tetapi jika Kant dan Ritschl melihat hakekat itu di dalam hal moralitas, Schleiermacher di dalam sifat agama dengan perasaan kebergantungan mutlak, maka Otto menemukannya di dalam apa yang ia sebut sebagai Numinos.
Otto berdalih bahwa sejak Reformasi, para teolog dan filsuf sama-sama terlalu dikuasai oleh doktrin, dogma, argument-argumen dengan kata lain, dengan elemen rasional dan moral dari agama. Tetapi bagi Otto, akar agama tidak terdapat di sana. Ia lebih terletak di dalam apa yang diungkapkan dengan kata suci. Tetapi istilah ini telah begitu dikuasai oleh asosiasi doctrinal dan moral, sehingga Otto lebih senang menggunakan istilahnya sendiri yang didasarkan pada kata Latin untuk keilahian, yaitu numen.
Kelemahan Otto yang besar adalah pada metodenya. Paling tidak terdapat dua kegagalan disini. Yang pertama adalah asumsi bahwa agama dapat diperlakukan menurut cara seperti ini; mereka semua memiliki kesamaan karakteristik yang bersifat abstrak, dan sekali diabstrakkan, maka sisanya menjadi tidak penting. Lebih lanjut lagi, jauh dari jelas adanya pengertian dari agama-agama yang berbeda yang setuju bahwa isi dari agama-agama mereka sama.
Bubber
Menafsirkan kepribadian Yesus berdasarkan konsep I-Thou-nya. “Betapa hebatnya, bahkan sedemikian berkuasa, dan betapa kokohnya, bahkan menjadi bukti diri, dengan julukan/(saya) oleh Yesus! Karena dengan I dalam relasi tanpa syarat di mana manusia memanggil Bapa Thou-nya dengan cara Ia sendiri menjadikan diriNya Anak, dan tidak ada yang lain selain Anak. Setiap kali Ia mengatakan I, Ia hanya bermaksud dengan kata I suatu kata utama yang kudus, yang telah mengangkatNya menjadi pribadi yang tak bersyarat. Jika perpisahan pernah menyentuhNya, solidaritas relasiNya lebih besar; Ia berbicara kepada orang lain hanya berdasarkan solidaritasNya. Tidak perlu berusaha membatasi I ini di dalam kuasaNya sendiri atau Thou itu untuk sesuatu yang tinggal di dalam diri kita, dan sekali lagi mengosongkan yang sejati, menghadirkan relasi dari realitas. I dan Thou bersatu; setiap manusia dapat mengatakan Thou dan ia akan menjadi I, setiap manusia dapat mengatakan Bapa dan ia menjadi ANak : realitas menjadi bersatu.
Pierre Teilhard de Chardin
Chardin (1881 – 1955), seorang dari sebelas bersaudara, adalah anak tuan tanah di Perancis Tengah. Pada usia sepuluh tahun ia telah dikirim sebagai tamu di Kolese Yesuit. Tujuan terbesarnya adalah menggabungkan teologi Kristen dengan teori evolusi demi mencapai suatu pandangan ilimiah tentang maksud ilahi dan posisi manusia dalam alam semesta.
Pikiran Teilhard memiliki dua titik mula, evolusi dan iman Katolik. Keunikannya terletak pada bagaimana ia mencoba menyatukan keduanya. Baginya “Evolusi” merupakan terang yang menyinari semua fakta, suatu kurva yang harus diikuti oleh semua garis.” Tetapi evolusi bukan sekedar suatu cara mengerti perkembangan manusia di masa yang akan datang.
Bagi Teilhard sebagai seorang Katolik, hal itu berarti memikirkan masa depan manusia dalam kaitan dengan Allah. Kita harus memikirkan Allah bukan sekedar sebagai “Allah yang di atas”, transenden dan di luar dunia (seperti dalam konsep teologi tradisional), juga bukan sepenuhnya imanen, “Allah di dalam” (seperti pandangan teologi liberal dan teologi radikal), tetapi sebagai “Allah di depan” di dalam kesatuan hidup dengan manusia.
Neo-Thomisme
Neo-Thomisme modern tidak mengikuti teks Aquinas secara membabi buta. Tetapi, seperti Thomas, mereka berusaha untuk memasukkan kembali validitas teologi natural di dalam berbagai bentuk.
Tetapi para Neo-Thomis tidak hanya berusaha menyatakan ulang argument-argumen lama dari teologi natural. Mereka juga terlibat di dalam perdebatan kontemporer. Karya Mascall Words and Images adalah salah asatu konstribusi yang paling penting terhadap filsafat linguistic Inggris.
II. FILSAFAT DAN TEOLOGI REFORMED
Cornelius Van Til
Cornelius Van Til berdiri di atas tradisi konservatif Teologi Reformed Belanda. Van Til berargumen bahwa teologi natural membawa orang pada ide tentang penyebab pertama yang tidak berpribadi, sehingg jatuh dari pandangan tentang Allah yang hidup, baik dari Alkitab maupun dari pengalaman. Alasannya sebagian besar bukan dikarenakan kesalahan logika di dalam langkah-langkah argumentasi yang berbeda-beda itu, tetapi karena kesalahan titik mulanya.
Dalam memikirkan Allah, kita dapat memulai dari dua arah yang berbeda yaitu dari Allah atau dari manusia. Van Til menyimpulkan posisinya dengan mengatakan bahwa “eksistensi Allah teisme Kristen dan konsep kebijaksanaanNya dalam mengontrol segala sesuatu dalam alam semesta merupakan satu-satunya presuposisi yang dapat dipertanggungjawabkan bagi keseragaman natur yang dibutuhkan oleh para ilmuwan.
Van Til tidak membayangkan bahwa demonstrasi irrasionalitas filsafat sekuler cukup untuk memenangkan semua dan berbagai bagian kepercayaan Kristen. Orang-orang non-Kristen akan menerima Injil, “jika Allah berkenan melalui RohNya untuk menyingkirkan selaput dari matanya dan topeng dari wajahnya. Hanya kepada kuasa Roh Kudus para pengkhotbah Reformed bersandar, ketika ia memberitahu seseorang bahwa mereka sedang tersesat di dalam dosa dan membutuhkan Juruselamat. Mau tidak mau, para apologis Reformed harus mengadopsi pelajaran ini demi kepentingan kebenaran
Karl Barth
Butir utama Barth adalah bahwa apa yang disebut Kierkegaard sebagai “pembedaan kulitatif yang kekal” (infinite qualitative distinction) antara kekekalan dan waktu surge dan dunia, dan Allah dan manusia. Allah adalah Yang Sama sekali Lain (The Wholly Other)
Dalam satu segi posisi Barth sama sekali berlawanan dari posisi John Robinson di dalam Honest to God, jika Robinson menolak gagasan Allah “yang jauh di sana” dan mau menemukanNya di dalam proses natural dan di dalam hidup manusia, Barth melihat Allah sebagai yang sama sekali transenden. Ia sama sekali tidak boleh diidentifikasikan langsung dengan apapun yang ada di dunia ini, bahkan dengan firman dalam Alkitab. Wahyu tiba kepada manusia sama seperti garis vertical bertemu dengan permukaan yagn datar, atau jari-jari bertemu dengan lingkaran. Karena hal ini merupakan pertemuan dengan Yang Sama sekali Lain, maka kita bahkan tidak dapat melukiskannya. Semua dapat dilakukan oleh para penulis Alkitab) adalah dengan melukiskan apa yang mereka dapat rasakan setelahnya.
Di sini ia mengatakan tiga segi bentuk Firman Allah, yaitu Kristus, Alkitab dan pemberitaan/proklamasi. Pada pengertian yang pertama, Kristus adalah Firman Allah. Tetapi Ia disaksikan oleh Alkitab (dan juga kesaksian orang Kristen) yang menjadi sarana Firman Allah. Para penulis Alkitab ditugaskan untuk memberikan kesaksian sama seperti para murid memberikan kesaksian. “Barangsiapa menyambut aku dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.” Pada saat kita menerima kesaksian itu, kita menerima Kristus. Kebalikannya juga benar. Menolak kesaksian yang diberikan Allah adalah menolak cara pengenalan yang Allah sediakan. Maka ada relasi tidak langsung antara Allah sediakan. “Alkitab adalah Firman Allah sejauh Allah berbicara melaluinya… oleh karena itu, Alkitab menjadi Firman Allah pada peristiwa itu, dan antara keberadaannya dan menjadi ada kata kecil adalah yang menggabungkan keduanya, di alam pernyataan Alkitab adalah Firman Allah. Firman Allah tidak pernah menjadi sesuatu yang statis. “Apa yang Allah ungkapkan tidak pernah dapat diketahui dan benar keluar dari Allah sendiri. Tidak ada alas an Ia dapat dikenal dengan benar tanpa Ia sendiri yang mengatakanNya, bahwa Ia secara pribadi berada di dalam dan menyertai apa yang dikatakanNya. Dalam konteks seperti ini Barth mendiskusikan seluruh pertanyaan mengenai inspirasi dan otoritas Alkitab pada masa kini.
Di dalam kasus teologi, pertemuan dengan Allah melalui wahyu dari Firman merupakan hal yang utama. Dan Barth berdalih, bahwa dalam pengertian ini teologi merupakan ilmu pengetahuan.
1. Sama seperti semua ilmu pengetahuan lainnya, ia merupakan usaha manusia mengikuti obyek pengetahuan tertentu.
2. Seperti juga ilmu pengetahuan lainnya, ia mengikuti suatu jalur pengetahuan yang tertentu dan swa-konsisten
3. Seperti juga ilmu pengetahuan lainnya, ia berada dalam posisi bertanggungjawab di bawah jalur ini untuk dirinya sendiri maupun orang lain, yaitu setiap orang yang mampu berusaha mengikuti obyek ini dan dengan demikian mengikuti jalur ini.
Francis Schaeffer
Schaeffer melihat sejarah intelektual dan kebudayaan sepanjang dua ratus tahun untuk penggarapan dilemma ini. Perpisahan antara rasional dan irasional menjadi lengkap. Namun sekalipun manusia berusaha keras, ia tidak dapat melakukan apa-apa tanpa “yang irasional” ini. Rasionalismenya boleh berusaha menyingkirkannya, tetapi ia tidak dapat menghilangkannya. Ia menermukan ekspresi di dalam ketidakadaan bentuk (fromlessness) di banyak seni modern, dan berkembangnya penggunaan obat-obat bius. Ia juga menyatakan diri di dalam fenomena keingintahuan, tetapi yang tidak lazim, dari para filsuf sekuluer yang menerima rasionalisme garis keras, hanya untuk melompat ke suatu kesimpulan akhir yang sama sekali tidak terjamin. Hal yang sama juga terjadi pada sebagian besar teologi yang modern dan kritis. Ia memandang rendah pola teologi ortodoks, yang mereka katakana tidak dapat diterima lagi oleh manusia-manusia modern dan rasional, untuk menampilkan sesuatu yang bahkan lebih tidak masuk akal lagi. Optimism para humanis sekuler juga tidak berbeda. Ia tidak memiliki landasan rasional. Ironisnya, menurut kesimpulan Scaheffer, bahwa “Hal yang penting, yang ingin dikatakan oleh para manusia yang humanis dan rasionalistik, yaitu kekristenan tidak cukup rasional. Kini ia tiba di dalam suatu lingkaran yang besar dan berakhir di dalam suatu mistik sekalipun mistik dalam jenis tertentu. Ia menjadi mistik dengan tidak ada siapapun di tengahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar